Panas. Haus. Capek. Mungkin hanya
ketiga kata inilah yang dapat dengan tepatnya menjelaskan keadaan ku sekarang
ini . Apabila aku tahu bahwa aku akan berakhir seperti ini, mungkin aku tak
akan memisahkan diri dari khafilah . aku menyesal.
Namaku adalah Ahmed, keluarga ku
adalah lah seorang pedagang bulu domba. Keluarga ku sudah berjualan bulu domba
dari dahulu. Bahkan kakek uyut ku
adalah seorang penjual bulu domba termansyur di tanah Arab ini. Keluarga ku tidaklah miskin,
bisa dikatakan aku hidup dalam kemansyuran. Tetapi sebagai lelaki yang hidup
dalam kemansyuran bisa dikatakan aku tidak seperti anak-anak lain yang hidupnya bersenang-senang. Aku dididik
ayahku sebagai pekerja keras, kelak ketika aku besar nanti ayahku berharap agar
aku bisa mengurus bisnis ku sendiri dan menjadi sukses. Maka dari itu aku
sedikit jengkel pada ayahku. Disaat remaja lelaki lain berfoya-foya dan bermain
dengan para gadis , aku harus bersusah payah melawan panas di tengah padang
pasir . Aku dipaksa untuk ikut berdagang dengan pesuruh ayahku sejak umurku
menginjak 14 tahun.
Tetapi tahun ini aku berumur 18
tahun. Di mana, dalam tradisi keluargaku , ketika seorang lelaki sudah berumur
18 tahun, maka ia boleh memutuskan ikut atau tidak dalam rombongan khafilah
yang pergi berdagang.
Tepat dua hari sebelum ulang
tahunku , rombongan khafilah kami bersiap-siap untuk berdagang di negeri Persia.
Aku belum pernah ke Persia sebelumnya, dan aku dengar tempat itu cukup jauh
dari tempat tinggalku sekarang ini. Sebenarnya aku cukup enggan untuk mengikuti
rombongan khafilah kali ini, apalagi pemimpin khafilahnya adalah Ra’uf. lelaki
yang menurutku hanya berpura-pura demi mendapatkan harta bibiku.
Ra’uf bukanlah seorang berada
seperti diriku, ayah-ibu nya sudah lama meninggal. Ibu Ra’uf meninggal saat
sedang melahirkan Ra’uf, sedangkan ayahnya meninggal ketika sedang berperang. Ra’uf
kini tinggal bersama pamannya, Wahid. Pamannya adalah salah satu petinggi di
jazirah Arab saat itu. Ra’uf sangatlah disayang pamannya. Pada saat Ra’uf
berumur 24 tahun, Ra’uf bekerja pada bibiku, Salma, sebagai salah satu
pedagangnya. Dikarenakan Ra’uf adalah seorang yang jujur dan baik tutur katanya, bibiku yang saat
itu adalah seorang janda melamar Ra’uf. Bibiku dan Ra’uf pada akhirnya menikah
dengan perbedaan umur 10 tahun. Ra’uf pada saat itu berumur 25 tahun dan
bibiku, Salma berumur 35 tahun. Kini Ra’uf berumur 30 tahun, hal yang paling
membuatku jengkel adalah pada usianya yang 30 tahun ini, ia dipercayai oleh
keluargaku untuk memimpin rombongan khafilah. Ayahku saya dipercayai memimpin
rombongan khafilah ketika usia nya menginjak 40 tahun. Ini sungguh tidak adil.
Terkutuklah rombongan khafilah
ini. Kenapa kalian harus pergi berdagang dua hari sebelum hari ulangtahun ku ?
tidak bisakah kalian pergi setelah ulang tahunku ? kalau begini aku jadi tak
usah repot-repot ikut rombongan untuk berdagang. Tetapi yang namanya juga suatu
tradisi, tidak bisa aku untuk melanggarnya. Mau tak mau aku harus ikut
romobongan khafilah ini.
Kami pergi pagi sekali, ketika
orang-orang terlelap dengan tidurnya, justru kami harus mengangkat kaki kami dan
berusaha melawan kantuk. Dapat kulihat dari wajah-wajah para pesuruh mereka
semua terlihat lelah, hanya Ra’uf lah yang terlihat bersemangat. Kutatap dia
dengan penuh kebencian, dia pun melihat ku dan tersenyum. Aku pikir, apa-apaan
senyum itu, aku yakin dia sedang meremehkanku sekarang. Aku benci Ra’uf.
Setelah 15 hari kami berjalan,
sampai lah kami di tanah Baghdad. Masih ada setengah perjalanan lagi sebelum
kami sampai di Persia. Kami sampai di Baghdad pada malam hari, selama di
perjalanan aku sudah menyusun rencana bahwa aku akan melarikan diri dengan membawa
persiapan makan yang cukup dan membawa salah satu onta untuk membawa keperluan
punya ku. Toh aku sudah berumur 18 tahun sekarang, mereka kini tak bisa
mengekangku. Sepanjang malam aku terus memikirkan rencana ini sampai aku pun
gelisah tak bisa tidur. Keesokan harinya, pada pagi buta, ketika rombongan
khafilah tertidur pulas aku pun bergegas pergi dari rumah singgah. Aku cukup
percaya diri pada kemampuan ku membaca arah. Aku pasti tidak akan tersesat
dalam perjalanan pulangku. Aku terus tersenyum dan terkekeh membayangkan reaksi
rombongan khafilah yang mengetahui bahwa diriku sudah tidak ada dalam rombongan.
Apalagi membayangkan muka bingung dan cemas Ra’uf membuatku cukup puas.
Sudah lima hari aku berjalan di
padang pasir. Aku lelah dan tidak tahu harus berjalan kemana. Aku rasa aku
sudah berjalan pada jalan yang tepat, namun aku tetap tidak menemukan
petunjuk-petunjuk akan dekatnya aku dengan tanah arab yang ku kenal. Aku berjalan.
Terus berjalan. Aku haus, aku lapar. Andaikan aku tidak lupa mengikat tali onta
itu saat aku sedang tidur siang kemarin , mungkin dia tidak akan kabur. Dan lagi
onta itu membawa persediaan makanan yang sudah aku siapkan. Sekarang , tanpa
persiapan makanan dan minuman aku sungguh tak berdaya. Rasanya aku bisa saja mati disini.
Aku sudah tidak kuat. Sepatu ku rusak, kakiku sudah melepuh dan berdarah akibat panasnya padang pasir. Bibirku kering
pecah pecah, mataku hitam dan cekung dan keringat tidak henti-hentinya mengalir
deras dari seluruh badan ku. Baju ku basah karena keringatku sendiri. Aku merasa
kotor dan tak berdaya. Entah kenapa, aku memutuskan untuk memutar balik . Aku
harus kembali ke Baghdad, pikirku. Mungkin badan ku ini akan kuat hanya untuk
perjalan balik ke Baghdad. Aku tidak tahu apakah rombongan sudah pergi
meninggalkanku apa belum, setidaknya aku bisa makan dan minum di Baghdad daripada
aku haru berjalan selama 10 hari ke depan untuk kembali ke rumah, tidak ada
yang menjamin akankah aku bisa selamat atau tidak untuk bisa kembali ke tanah
jazirah Arab.
Aku pun memutar langkah kakiku,
sepercik dorongan untuk bertahan hidup membuat ku bersemangat kembali. Aku pun
terus berjalan ke arah Baghdad, berharap aku akan sampai sana tepat waktu. Aku terus
berjalan, aku pun tidak peduli pada betapa sakitnya kakiku dan hausnya aku saat
ini.
Malah hari pun tiba, baru kali
ini aku melihat bintang bintang sangat indahnya , selama ini aku terus mengeluh
terhadap keadaan ku , aku malu. Tak terasa air mata mengalir di pipiku, terasa
hangat . mulutku terus berkomat kamit meminta ampunan dari-Nya. Sampai tak
terasa aku pun sudah terlelap. Keesokan paginya aku pun melanjutkan perjalanan.
Tepat pukul 12 siang, ketika mata hari tepat diatas kepala, panasnya sungguh
menyengat di tubuhku. Aku merasa keadaan ku lebih buruk daripada kemarin.
Tubuhku bergetar cukup hebat, aku
sudah tidak kuat, aku sudah tidak sanggup. Aku berpikir bahwa riwayatku akan
berakhir disini, di tengah-tengah padang pasir yang aku pun bahkan tak tahu
dimana . aku , seorang lelaki yang baru saja beranjak 18 tahun kini harus mati
di tengah padang pasir, aku bahkan belum mempunyai khafilah dagangku sendiri
yang selama ini aku cita-citakan. Aku rasa mimpi itu harus berakhir hari ini. Badan
ku mulai lemah, kaki ku sudah tak sanggup menopang tubuhku. Aku pun jatuh
tersungkur. Mata ini sudah susah untuk dibuka. Andaikan aku tidak meninggalkan
khafilah ,mungkin aku masih bisa hidup. Mungkin aku sekarang sedang menikmati
makanan dan minuman yang lezat. Tiba-tiba bayangan Ra’uf memenuhi pikiranku. Sebenarnya
ia bukan lah orang jahat, aku
saja yang jahat dan egois. Sebenarnya,
aku hanya tidak ingin tersaingin olehnya. Perasaan bersalah kini memenuhi
dadaku. Namun tidak ada yang bisa kulakukan sekarang. Yang ada hanyalah
penyesalan.
drap..drap..drap.. Aku mendengar suara langkah kaki kuda. Semakin lama
semakin dekat, aku tak tahu itu siapa. Bisa saja ia seorang penjahat gurun,
atau seorang yang sedang berkelana. Tapi siapa pun itu, tolonglah aku! Dengan keadaan
setengah sadar, aku mengumpulkan sisa energi ku untuk membuka mata dan melambai
ke arah seseorang yang sedang menunggangi kuda. Kuda itu pun berhenti hanya
beberapa centi dari tempat ku berada. Aku dapat merasakan kepulan debu yang
menusuk wajah ku.
Orang yang berada di atas kuda
itu turun, lalu menghampiriku. aku pun mengadah untuk melihat wajahnya. Samar-samar
ku lihat wajahnya. Lalu orang tersebut membantuku untuk duduk dan ketika
kulihat baik-baik wajahnya, terasa ada kesan yang begitu familiar dan hangat. Orang
itu adalah Ra’uf.
Aku tak menyangka dari jutaan orang
di tanah timur ini, justru yang menemukan ku adalah Ra’uf! saking malunya aku
sampai tak bisa menatap Ra’uf. terbayang oleh ku wajah marah Ra’uf. Lalu dia
mengeluarkan suatu benda, yang aku kira pisau. Lalu… ah.. terasa segar
tenggorokanku. Ra’uf memberiku air minumnya. Tidak hanya itu, ia juga
memberikan ku sebongkah besar roti. Lalu
tanpa pikir panjang langsung ku ambil roti itu dan memakannya. Disaat sedang
menghabiskan rotiku, aku merasa Ra’uf sedang melihat ke arahku. Aku pun mulai
ketakutan bahwa aku akan dimarahi habis-habisan karena telah meninggalkan
khafilah seenaknya. Lalu aku mengumpulkan keberanian untuk melirik kearahnya.
Namun aku tertegun melihat wajahnya. Aku hanya bisa terdiam dengan mulut
menganga penuh dengan roti di dalamnya. Wajah Ra’uf tersenyum ! aku dapat
melihat dengan jelas sosoknya. Seorang lelaki tegap berumur 40 tahunan dengan
wajah sedikit terbakar tersenyum melihatku.
Lalu kutawarkan dia roti tersebut,
“tidak buat kau saja, aku sudah makan tadi.”.
Padahal ia terlihat cukup lapar bagiku, aku melihat tangannya memegang
perutnya sesekali. Setelah aku selesai makan, dia mengajakku untuk melanjutkan
perjalanan . dia bilang kita sudah dekat dengan Riyadh.
Aku menunggangi kudanya sedangkan
dia jalan menuntun kudanya. Saat malah hari tiba, aku tanyakan kepadanya kemana
rombongan khafilah. Kulihat wajahnya tiba-tiba tersenyum , lalu ia berkata “
Rombongan sudah pergi beberapa hari yang lalu untuk melanjutkan perjalanan ke
Persia.” , “Lalu siapa yang memimpin khafilah apabila engkau disini ?” tanyaku
. “Aku meminta Oesman untuk memimpin khafilah kita untuk melanjutkan perjalanan
ke Persia.” .Pada saat itu,banyak sekali pertanyaan yang ingin ku tanyakan kepadanya
namun kutahan . lalu pada akhirnya ketika malam sudah makin mencekam, kami pun
memutuskan untuk berkemah. Aku pun memberanikan diri untuk bertanya kepadanya “Kenapa
kamu menolongku ? padahal kamu tahu bahwa aku sangatlah membeci dirimu.” Lalu
jawabannya membuat aku tertegun “Karena kau adalah keluargaku. Aku tak peduli
kau menyusahkanku. Tapi kenapa kau menyusahkan dirimu sendiri ?”. Tanpa sadar
air mata mengalir deras di pipiku.