Wednesday, October 28, 2015

Ra'uf



Panas. Haus. Capek. Mungkin hanya ketiga kata inilah yang dapat dengan tepatnya menjelaskan keadaan ku sekarang ini . Apabila aku tahu bahwa aku akan berakhir seperti ini, mungkin aku tak akan memisahkan diri dari khafilah . aku menyesal.
Namaku adalah Ahmed, keluarga ku adalah lah seorang pedagang bulu domba. Keluarga ku sudah berjualan bulu domba dari dahulu. Bahkan kakek uyut ku adalah seorang penjual bulu domba termansyur di tanah Arab ini. Keluarga ku tidaklah miskin, bisa dikatakan aku hidup dalam kemansyuran. Tetapi sebagai lelaki yang hidup dalam kemansyuran bisa dikatakan aku tidak seperti anak-anak lain yang hidupnya bersenang-senang. Aku dididik ayahku sebagai pekerja keras, kelak ketika aku besar nanti ayahku berharap agar aku bisa mengurus bisnis ku sendiri dan menjadi sukses. Maka dari itu aku sedikit jengkel pada ayahku. Disaat remaja lelaki lain berfoya-foya dan bermain dengan para gadis , aku harus bersusah payah melawan panas di tengah padang pasir . Aku dipaksa untuk ikut berdagang dengan pesuruh ayahku sejak umurku menginjak 14 tahun.  
Tetapi tahun ini aku berumur 18 tahun. Di mana, dalam tradisi keluargaku , ketika seorang lelaki sudah berumur 18 tahun, maka ia boleh memutuskan ikut atau tidak dalam rombongan khafilah yang pergi berdagang.
Tepat dua hari sebelum ulang tahunku , rombongan khafilah kami bersiap-siap untuk berdagang di negeri Persia. Aku belum pernah ke Persia sebelumnya, dan aku dengar tempat itu cukup jauh dari tempat tinggalku sekarang ini. Sebenarnya aku cukup enggan untuk mengikuti rombongan khafilah kali ini, apalagi pemimpin khafilahnya adalah Ra’uf. lelaki yang menurutku hanya berpura-pura demi mendapatkan harta bibiku.  
Ra’uf bukanlah seorang berada seperti diriku, ayah-ibu nya sudah lama meninggal. Ibu Ra’uf meninggal saat sedang melahirkan Ra’uf, sedangkan ayahnya meninggal ketika sedang berperang. Ra’uf kini tinggal bersama pamannya, Wahid. Pamannya adalah salah satu petinggi di jazirah Arab saat itu. Ra’uf sangatlah disayang pamannya. Pada saat Ra’uf berumur 24 tahun, Ra’uf bekerja pada bibiku, Salma, sebagai salah satu pedagangnya. Dikarenakan Ra’uf adalah seorang yang jujur dan baik tutur katanya, bibiku yang saat itu adalah seorang janda melamar Ra’uf. Bibiku dan Ra’uf pada akhirnya menikah dengan perbedaan umur 10 tahun. Ra’uf pada saat itu berumur 25 tahun dan bibiku, Salma berumur 35 tahun. Kini Ra’uf berumur 30 tahun, hal yang paling membuatku jengkel adalah pada usianya yang 30 tahun ini, ia dipercayai oleh keluargaku untuk memimpin rombongan khafilah. Ayahku saya dipercayai memimpin rombongan khafilah ketika usia nya menginjak 40 tahun. Ini sungguh tidak adil.
Terkutuklah rombongan khafilah ini. Kenapa kalian harus pergi berdagang dua hari sebelum hari ulangtahun ku ? tidak bisakah kalian pergi setelah ulang tahunku ? kalau begini aku jadi tak usah repot-repot ikut rombongan untuk berdagang. Tetapi yang namanya juga suatu tradisi, tidak bisa aku untuk melanggarnya. Mau tak mau aku harus ikut romobongan khafilah ini.
Kami pergi pagi sekali, ketika orang-orang terlelap dengan tidurnya, justru kami harus mengangkat kaki kami dan berusaha melawan kantuk. Dapat kulihat dari wajah-wajah para pesuruh mereka semua terlihat lelah, hanya Ra’uf lah yang terlihat bersemangat. Kutatap dia dengan penuh kebencian, dia pun melihat ku dan tersenyum. Aku pikir, apa-apaan senyum itu, aku yakin dia sedang meremehkanku sekarang. Aku benci Ra’uf.
Setelah 15 hari kami berjalan, sampai lah kami di tanah Baghdad. Masih ada setengah perjalanan lagi sebelum kami sampai di Persia. Kami sampai di Baghdad pada malam hari, selama di perjalanan aku sudah menyusun rencana bahwa aku akan melarikan diri dengan membawa persiapan makan yang cukup dan membawa salah satu onta untuk membawa keperluan punya ku. Toh aku sudah berumur 18 tahun sekarang, mereka kini tak bisa mengekangku. Sepanjang malam aku terus memikirkan rencana ini sampai aku pun gelisah tak bisa tidur. Keesokan harinya, pada pagi buta, ketika rombongan khafilah tertidur pulas aku pun bergegas pergi dari rumah singgah. Aku cukup percaya diri pada kemampuan ku membaca arah. Aku pasti tidak akan tersesat dalam perjalanan pulangku. Aku terus tersenyum dan terkekeh membayangkan reaksi rombongan khafilah yang mengetahui bahwa diriku sudah tidak ada dalam rombongan. Apalagi membayangkan muka bingung dan cemas Ra’uf membuatku cukup puas.
Sudah lima hari aku berjalan di padang pasir. Aku lelah dan tidak tahu harus berjalan kemana. Aku rasa aku sudah berjalan pada jalan yang tepat, namun aku tetap tidak menemukan petunjuk-petunjuk akan dekatnya aku dengan tanah arab yang ku kenal. Aku berjalan. Terus berjalan. Aku haus, aku lapar. Andaikan aku tidak lupa mengikat tali onta itu saat aku sedang tidur siang kemarin , mungkin dia tidak akan kabur. Dan lagi onta itu membawa persediaan makanan yang sudah aku siapkan. Sekarang , tanpa persiapan makanan dan minuman aku sungguh tak berdaya. Rasanya aku bisa saja mati disini.
Aku sudah tidak kuat. Sepatu ku rusak,  kakiku sudah melepuh dan berdarah akibat panasnya padang pasir. Bibirku kering pecah pecah, mataku hitam dan cekung dan keringat tidak henti-hentinya mengalir deras dari seluruh badan ku. Baju ku basah karena keringatku sendiri. Aku merasa kotor dan tak berdaya. Entah kenapa, aku memutuskan untuk memutar balik . Aku harus kembali ke Baghdad, pikirku. Mungkin badan ku ini akan kuat hanya untuk perjalan balik ke Baghdad. Aku tidak tahu apakah rombongan sudah pergi meninggalkanku apa belum, setidaknya aku bisa makan dan minum di Baghdad daripada aku haru berjalan selama 10 hari ke depan untuk kembali ke rumah, tidak ada yang menjamin akankah aku bisa selamat atau tidak untuk bisa kembali ke tanah jazirah Arab.
Aku pun memutar langkah kakiku, sepercik dorongan untuk bertahan hidup membuat ku bersemangat kembali. Aku pun terus berjalan ke arah Baghdad, berharap aku akan sampai sana tepat waktu. Aku terus berjalan, aku pun tidak peduli pada betapa sakitnya kakiku dan hausnya aku saat ini.
Malah hari pun tiba, baru kali ini aku melihat bintang bintang sangat indahnya , selama ini aku terus mengeluh terhadap keadaan ku , aku malu. Tak terasa air mata mengalir di pipiku, terasa hangat . mulutku terus berkomat kamit meminta ampunan dari-Nya. Sampai tak terasa aku pun sudah terlelap. Keesokan paginya aku pun melanjutkan perjalanan. Tepat pukul 12 siang, ketika mata hari tepat diatas kepala, panasnya sungguh menyengat di tubuhku. Aku merasa keadaan ku lebih buruk daripada kemarin.
Tubuhku bergetar cukup hebat, aku sudah tidak kuat, aku sudah tidak sanggup. Aku berpikir bahwa riwayatku akan berakhir disini, di tengah-tengah padang pasir yang aku pun bahkan tak tahu dimana . aku , seorang lelaki yang baru saja beranjak 18 tahun kini harus mati di tengah padang pasir, aku bahkan belum mempunyai khafilah dagangku sendiri yang selama ini aku cita-citakan. Aku rasa mimpi itu harus berakhir hari ini. Badan ku mulai lemah, kaki ku sudah tak sanggup menopang tubuhku. Aku pun jatuh tersungkur. Mata ini sudah susah untuk dibuka. Andaikan aku tidak meninggalkan khafilah ,mungkin aku masih bisa hidup. Mungkin aku sekarang sedang menikmati makanan dan minuman yang lezat. Tiba-tiba bayangan Ra’uf memenuhi pikiranku. Sebenarnya ia bukan lah orang jahat, aku saja yang jahat dan egois. Sebenarnya, aku hanya tidak ingin tersaingin olehnya. Perasaan bersalah kini memenuhi dadaku. Namun tidak ada yang bisa kulakukan sekarang. Yang ada hanyalah penyesalan.
drap..drap..drap.. Aku mendengar suara langkah kaki kuda. Semakin lama semakin dekat, aku tak tahu itu siapa. Bisa saja ia seorang penjahat gurun, atau seorang yang sedang berkelana. Tapi siapa pun itu, tolonglah aku! Dengan keadaan setengah sadar, aku mengumpulkan sisa energi ku untuk membuka mata dan melambai ke arah seseorang yang sedang menunggangi kuda. Kuda itu pun berhenti hanya beberapa centi dari tempat ku berada. Aku dapat merasakan kepulan debu yang menusuk wajah ku.
Orang yang berada di atas kuda itu turun, lalu menghampiriku. aku pun mengadah untuk melihat wajahnya. Samar-samar ku lihat wajahnya. Lalu orang tersebut membantuku untuk duduk dan ketika kulihat baik-baik wajahnya, terasa ada kesan yang begitu familiar dan hangat. Orang itu adalah Ra’uf.
Aku tak menyangka dari jutaan orang di tanah timur ini, justru yang menemukan ku adalah Ra’uf! saking malunya aku sampai tak bisa menatap Ra’uf. terbayang oleh ku wajah marah Ra’uf. Lalu dia mengeluarkan suatu benda, yang aku kira pisau. Lalu… ah.. terasa segar tenggorokanku. Ra’uf memberiku air minumnya. Tidak hanya itu, ia juga memberikan ku sebongkah besar roti.  Lalu tanpa pikir panjang langsung ku ambil roti itu dan memakannya. Disaat sedang menghabiskan rotiku, aku merasa Ra’uf sedang melihat ke arahku. Aku pun mulai ketakutan bahwa aku akan dimarahi habis-habisan karena telah meninggalkan khafilah seenaknya. Lalu aku mengumpulkan keberanian untuk melirik kearahnya. Namun aku tertegun melihat wajahnya. Aku hanya bisa terdiam dengan mulut menganga penuh dengan roti di dalamnya. Wajah Ra’uf tersenyum ! aku dapat melihat dengan jelas sosoknya. Seorang lelaki tegap berumur 40 tahunan dengan wajah sedikit terbakar tersenyum melihatku.
Lalu kutawarkan dia roti tersebut, “tidak buat kau saja, aku sudah makan tadi.”.  Padahal ia terlihat cukup lapar bagiku, aku melihat tangannya memegang perutnya sesekali. Setelah aku selesai makan, dia mengajakku untuk melanjutkan perjalanan . dia bilang kita sudah dekat dengan Riyadh.
Aku menunggangi kudanya sedangkan dia jalan menuntun kudanya. Saat malah hari tiba, aku tanyakan kepadanya kemana rombongan khafilah. Kulihat wajahnya tiba-tiba tersenyum , lalu ia berkata “ Rombongan sudah pergi beberapa hari yang lalu untuk melanjutkan perjalanan ke Persia.” , “Lalu siapa yang memimpin khafilah apabila engkau disini ?” tanyaku . “Aku meminta Oesman untuk memimpin khafilah kita untuk melanjutkan perjalanan ke Persia.” .Pada saat itu,banyak sekali pertanyaan yang ingin ku tanyakan kepadanya namun kutahan . lalu pada akhirnya ketika malam sudah makin mencekam, kami pun memutuskan untuk berkemah. Aku pun memberanikan diri untuk bertanya kepadanya “Kenapa kamu menolongku ? padahal kamu tahu bahwa aku sangatlah membeci dirimu.” Lalu jawabannya membuat aku tertegun “Karena kau adalah keluargaku. Aku tak peduli kau menyusahkanku.  Tapi kenapa  kau menyusahkan dirimu sendiri ?”. Tanpa sadar air mata mengalir deras di pipiku.

No comments:

Post a Comment